Meminang

Sejarah penting dalam hidup manusia termasuk bagi seorang Yudhi Baslau.

Nice Moment

Sampai kapanpun masa-masa berkumpul bersama kawan-kawan akan selalu menjadi kenangan manis untuk diingat.

Ekspresi Diri

Seni sastra termasuk membaca puisi cara murah dan mudah untuk mengusir gundah dan galau.

Mun Lain Kita Siapa Pang Lagi

Saatnya Berbuat Bersama Melestarikan Seni Budaya Kalimantan.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Selasa, 02 September 2014

Sarjana, Antara Pemberi Harapan dan Beban

Sarjana, Antara Pemberi Harapan Dan Beban
Oleh Wahyudi

"Engkau sarjana muda, resah mencari kerja, mengandalkan ijazahmu.
Empat tahun lamanya bergelut dengan buku tuk jamin masa depan...
Engkau sarjana muda, Resah tak dapat kerja, tak berguna ijazahmu.
Empat tahun lamanya, bergelut dengan buku, sia-sia semuanya...
Setengah putus asa dia berucap, maaf Ibu"

Lirik lagu karya Iwan Fals yang dirilis pada tahun 1981 dalam album Sarjana Muda tersebut, menggambarkan bagaimana seseorang yang telah berusaha untuk memperoleh titel sarjana yang sangat diimpikannya selama bertahun-tahun. Namun, setelah lulus dia mendapat tantangan dan kesulitan dalam mencari kerja. Dalam lagunya itu, penyanyi legendaris Indonesia yang akrab disapa bang Iwan tersebut, juga mencoba menggambarkan bahwa ijazah seorang sarjana tidak bisa menjadi jaminan seseorang untuk mendapat kerja. Makna lagu yang dirilis sejak 32 tahun lalu atau tepatnya pada masa Orde Baru tersebut, masih terasa bahkan hingga sekarang.
Berdasarkan data yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik Nasional (BPSN), sejak Januari 2013 hingga Juli 2013, di Indonesia tercatat sekitar 500.000 lulusan dari sekitar 2.900 perguruan tinggi yang menjadi pengangguran. Sungguh tragis, dan tentu saja tidak ada seorang sarjana pun yang mau menjadi salah satunya.
Berangkat dari sana, tidak heran banyak sarjana takut - atau dalam bahasa gaulnya galau - tidak bisa mendapat kerja. Bermacam pikiran buruk menyeret ke arah rasa khawatir mengenai kerja apa nanti setelah lulus kuliah. Bahkan, perasaan itu sudah muncul ketika si calon penyandang gelar menginjak semester lima ke atas. Karena, pada masa-masa seperti itulah pikiran ingin hidup mandiri guna mengurangi beban orang tua mulai muncul dalam benak, terlebih bagi anak laki-laki. Akan tetapi, masih adanya rasa ingin menikmati masa muda, seakan mengalahkan segalanya.
Sejatinya, pada masa-masa itulah seorang mahasiswa/mahasiswi harus sudah mulai menyusun puzzle-puzzle masa depannya agar tidak berantakan. Mahasiswa yang sudah mulai memikirkan kerja sejak dini, pastinya sudah mempunyai bayangan atau gambaran dimana masa depannya setelah kuliah bakal berlabuh.
Ada bermacam pandangan dari berbagai kalangan mengenai banyaknya angka pengangguran berpendidikan di negeri tercinta ini. Salah satu sumber mengungkapkan, keliru dan gegabah dalam mengambil jurusan sewaktu pertama mendaftar kuliah, menjadi salah satu faktor utama penyebab seorang mahasiswa akan galau saat memasang toga. Kekeliruan tersebut akan berdampak negatif pada proses pencapaian akademik di kampus.
Rasa kurang semangat dan bermalas-malasan dalam mengikuti proses pembelajaran di kampus tidak dipungkiri pasti akan muncul dalam diri, yang kemudian berdampak pada rasa tidak terlalu peduli dengan nilai dan ilmu yang didapatkan, hal itu berujung pada tidak menguasainya si mahasiswa dengan jurusan yang dia ambil.
Selain itu, yang paling banyak didapati dan menjadi alasan bagi seorang sarjana tidak mendapat pekerjaan, juga disinyalir lantaran terlalu memilih-milih pekerjaan dengan harapan mendapat gaji besar. Masyarakat yang tengah berkembang, memang menempatkan tujuan akhir dari program pendidikan pada teraihnya lapangan kerja yang diharapkan. Atau setidak-tidaknya, setelah lulus dapat bekerja di sektor formal yang memiliki nilai "gengsi" lebih tinggi di banding sektor informal. Padahal dewasa ini lapangan kerja di sektor formal mengalami penurunan, seiring dengan semakin melemahnya kinerja sektor industri dan produksi manufaktur yang berorientasi ekspor di negara ini. Melemahnya sektor tersebut secara langsung menyebabkan berkurangnya permintaan untuk tenaga kerja terdidik. Dengan kata lain, adanya informalisasi pasar kerja menjadi salah satu indikator utama penyebab menumpuknya pengangguran berpangkat sarjana di Indonesia. Sebenarnya, banyak sektor informal yang masih membutuhkan tenaga kerja, seperti sektor pertanian, kelautan, perkebunan, dan perikanan. Namun rata-rata sang sarjana tak mau bekerja di tempat-tempat seperti itu dan mereka umumnya juga tidak mau memulai karir dari bawah.
Paradigma seperti itu, menjadi penghalang utama bagi sarjana dalam melepas status penganggurannya setelah lulus kuliah, apalagi bagi lulusan S1 yang belum mempunyai pengalaman kerja dan hanya bermodalkan gelar disertai secarik kertas.
Clignet (1980), dalam hasil studinya juga memaparkan gejala meningkatnya pengangguran terdidik di Indonesia, diantaranya yakni adanya keinginan memilih pekerjaan yang aman dari resiko, seperti pekerjaan yang nyaman namun menghasilkan gaji besar. Dengan kata lain, golongan sarjana yang mempunyai prinsip seperti itu, lebih suka memilih menganggur daripada mendapat pekerjaan yang tidak sesuai dengan keinginan mereka.
Ada juga beberapa pendapat yang mengatakan, menumpuknya pengangguran berpendidikan tidak terlepas dari kualitas intelektual seorang sarjana. Artinya, kebanyakan titel sarjana hanya sebagai gelar semata, tidak diiringi dengan kualitas yang mumpuni baik itu dari segi mental, kemampuan dan kreatifitas. Dan sudah menjadi rahasia umum, bahwa faktor kualitas intelektual menjadi pertimbangan utama bagi perusahaan-perusahaan besar dalam menerima tenaga kerja.
Jadi, janganlah terlalu memilih-milih pekerjaan, tidak ada salahnya memulai suatu pekerjaan yang sesuai kemampuan walaupun dengan gaji kecil, sekedar untuk mencari pengalaman sembari mulai meniti karir dari bawah.
Pengangguran terdidik juga sangat berkaitan dengan masalah kependidikan yang berkisar pada masalah mutu pendidikan. Seorang sarjana, harusnya dibekali dengan keterampilan di luar kompetensi utama mereka sebagai sarjana. Karena, untuk menjadi seorang lulusan yang siap kerja, sarjana perlu tambahan keterampilan di luar bidang akademik yang mereka kuasai.
Sejatinya, perguruan tinggi adalah wadah yang mampu mencetak sumber daya manusia unggul dengan pengetahuan dan wawasan luas, sehingga menjadi pemberi harapan bagi masyarakat. Ironinya, fakta di lapangan sekarang berkata lain. Begitu seorang mahasiswa menyandang gelar sarjana, mereka disibukkan dengan aktifitas mencari kerja ke berbagai perusahaan. Singkatnya, lembaga pendidikan di Indonesia hanya menghasilkan pencari kerja, bukan pencipta kerja. Miris sekali.
Sementara itu, Sofyan Effendie, Anggota Dewan Pendidikan Tinggi (DPT) dalam salah satu kesempatan - seperti yang diberitakan oleh Detik.com – mengkritisi, tidak berkembangnya pendidikan tinggi di Indonesia saat ini, karena selama ini mereka meluluskan sarjana yang tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Menurutnya, sekarang ini ada kecenderungan ketidaksesuaian tenaga-tenaga yang diperlukan oleh masyarakat. Disaat masyarakat lebih membutuhkan mahasiswa yang menjadi teknisi, perguruan tinggi lebih banyak mengeluarkan sarjana yang berlatar akademisi. "Masyarakat kita itu sebenarnya lebih banyak membutuhkan teknisi daripada akademisi. Akibatnya apa? Banyak sarjana pengangguran yang dihasilkan dari perguruan tinggi di negeri ini. Masyarakat lebih butuh teknisi, tapi perguruan tinggi lebih banyak menghasilkan akademisi," sesalnya.
Mantan rektor UGM ini juga memaparkan, lulusan perguruan tinggi berlatar akademik di Indonesia saat ini mencapai angka 82.5 persen, sebaliknya yang berlatar vokasi hanya berkisar 17,5 persen. Padahal kata dia, kebutuhan yang dibutuhkan oleh masyarakat saat ini adalah 75 persen, yang mana itu adalah tenaga teknisi.
Hingga saat ini, ada jutaan sarjana di negeri ini. Jumlah itu tentunya akan semakin bertambah dan terus bertambah seiring meningkatnya populasi penduduk serta kemajuan ilmu dan teknologi. Di satu sisi, ini merupakan kabar gembira karena masyarakat Indonesia sudah mulai sadar akan pentingnya pendidikan, namun minimnya lapangan pekerjaan menjadikannya sebagai kabar buruk di sisi yang lain. Karena jumlah pengangguran akan kembali bertambah.
Lantas apa solusi mengurangi angka pengangguran berpendidikan? Sembilan dari sepuluh orang berpendapat, hanya ada satu cara untuk menghindarinya, yakni menciptakan lapangan kerja. Lapangan kerja hanya bisa diciptakan oleh orang yang bermental pengusaha bukan pekerja. Dan SDM yang sangat berpeluang untuk membuka lapangan kerja yakni sarjana. Tentunya dengan segala pengetahuan dan wawasan yang dimilikinya.
Kemandirian selama kuliah dengan sambil bekerja walaupun hanya sebagai buruh terlebih berwirausaha kecil-kecilan sesuai jurusan yang diambil, tentunya memberi pengaruh tersendiri bagi si sarjana setelah dia lulus kuliah. Pengalaman yang didapat dalam bekerja ketika masih kuliah, menjadi nilai tambah baginya agar terus bisa bertahan hidup di tengah kerasnya dunia.
Di setiap perguruan tinggi manapun, bahkan yang dianggap bonafit sekalipun, pasti banyak ditemui mahasiswa yang kuliah sambil berbisnis. Ada yang sambil mengajar di sekolah, di bimbingan belajar, membuka les privat, bekerja di restoran dan cafe, jualan bakso bahkan jadi tukang becak. Mereka bekerja dengan motivasi berbeda-beda. Demi menutupi biaya kuliah, meringankan beban orang tuanya yang kurang mampu dan ada yang memang keinginan sendiri untuk mandiri.
Jika kita merujuk pada profil pebisnis kelas dunia yang membuka usaha sendiri sembari kuliah, seperti Bill Gates si raja Microsoft yang memulai bisnis dari garasi rumahnya dan sempat dikeluarkan dari bangku perkuliahan, tentunya merupakan pilihan yang sama sekali tidak salah untuk berwirausaha sambil kuliah. Nasib seseorang tidak akan berubah kalau orng itu sendiri tidak berusaha untuk merubahnya.
Harus kita akui, kaum wirausaha menentukan nasib banyak orang, karena merekalah pencipta lapangan kerja. Sementara itu, dari sekitar 240 juta jiwa penduduk Indonesia, kaum wirausaha hanya berjumlah sekitar 0,24 persen atau sekitar 500.000 orang, tidak sebanding dengan banyaknya jumlah penduduk. Dibandingkan dengan negara tetangga, jumlah kaum wirausaha di Indonesia belum seberapa, jumlah kaum wirausaha Singapura mencapai 7 persen dari jumlah penduduknya, Malaysia 5 persen dan Amerika yang negara maju mencapai 11 persen (Kompas.com).
Dari laporan Asian Development Bank (ADB) yang dirilis pada tahun 2010 silam, dari 240 juta penduduk Indonesia, jumlah orang miskinnya menyentuh angka 43,1 juta jiwa.
Sudah saatnya bagi kaum intelektual berpangkat sarjana untuk berdiri di garda terdepan guna menyelesaikan permasalahan bangsa berupa pengangguran. Aksi kepahlawanan di jalanan seperti demonstrasi menyuarakan aspirasi rakyat di saat menjadi mahasiswa, digantikan dengan aksi nyata menjadi wirausaha, ikut menyejahterakan rakyat di saat lulus dan bergelar sarjana. Bukannya ikut membebani masyarakat dengan status pencari kerja. (*)

Jumat, 07 Maret 2014

Kupinang Kau Dengan Bismillah

Kupinang Kau Dengan Bismillah





"Allah menciptakan dua kaki untuk berjalan, dua tangan untuk memegang, dua mata untuk melihat, dua telinga untuk mendengar. Tetapi mengapa Allah Cuma menganugrahkan satu keping hati untuk kita.?? Itu karna Allah memberi satu keping hati lagi pada seseorang agar kita mencarinya..."

Jum'at, 7 Maret 2014.
Hari ini adalah hari dimana aku berada pada fase yang mengharuskanku memulai hidup dari awal kembali, memulai hidup sebagai lelaki yang harus bertanggung jawab terhadap seorang wanita yang diamanatkan kepadaku.
Kalimat sederhana namun sangat sakral sudah kuucapkan.
"Ku terima nikahnya Ida Ariyani Hasanah binti Syihabuddin dengan mahar Rp73 ribu dibayar tunai," ucapku yakin sambil memegang tangan penghulu dengan cukup keras.
"Sah," ujar para saksi serentak.
Usai ijab kabul yang dinyatakan sah oleh semua saksi dan kemudian ditutup dengan doa oleh penghulu, mataku beranjak mengelilingi rumah Ida -begitu istriku biasanya ku panggil- untuk menatap satu persatu wajah orang yang seakan turut bahagia dengan pernikahan kami.
Sesaat melintas di pikiranku mengenai pernikahan... bagiku pernikahan merupakan masa awal untuk menyingkap tabir cinta yang sebnar-benarnya, mengajarkan kewajiban sepasang makhluk ciptaan Allah yang sangat berbeda dari segi fisik namun harus sama dalam visi dan misi, agar selalu bersama disegala situasi dan kondisi. Visi dan Misi untuk meraih ridho Allah dalam menuju ke kehidupan yang abadi.
Meskipun istriku tak semulia Khadijah, tak setaqwa Aisyah dan tak setabah Fatimah, namun sejatinya ia adalah seorang wanita yang punya cita-cita menjadi istri yang shalehah, mengikuti suami kemanapun dia diajak untuk melangkah, dalam bingkai kewajaran dan diridhoi Allah.
Saat istriku menjadi madu, maka sudah sepantasnya aku meneguk dan menjaganya agar tetap nyaman untuk menghilangkan dahaga ditenggorokan. Sebaliknya, saat istri menjadi racun, maka sebagai seorang suami akulah yang harus menjadi penawar bisanya.
Pernikahan bagiku juga mengajarkan untuk meniti sabar dan ridho. Aku maupun laki-laki lainnya di muka bumi ini bukanlah baginda Rasul, bukan juga Abu Bakar, Umar Bin Khatab atau sahabat lainnya yang senantiasa berdzikir dalam setiap bait nafasnya. Aku hanyalah suami akhir zaman yang cuma bisa berupaya sembari berharap agar bisa menjadi pakaian yang bisa melindungi setiap lekuk lahir dan bathin istriku.
Awalnya, aku tak mengenal arti cinta hakiki dalam hidup ini.
Berkali-kali aku terjatuh bangun, terombang-ambing dalam dunia pergelutan hati.
Sembilan kali aku menyakiti dan dua belas kali aku disakiti oleh makhluk yang bernama wanita.
Pernah pada suatu masa aku bertingkah bagaikan makanan yang bermadu.
Aku pernah mencinta yang dahsyat, mencinta sampai gila, mencinta dalam semua alunan tangga nada, berkicau bagai burung tentang emansipasi, mengorbankan sebagian harta bendaku dalam pengaruh nafsu yang lembut.
Akan tetapi, tak pernah aku menemui wanita yang seperti dia, yang apabila aku melihatnya maka aku lalu membayangkan bahwa yang ku lihat itu adalah seorang makhluk yang suci, begitu hebat.
Sehingga, apabila tersentuh oleh nafas makhluk itu maka aku pun merasa terapung dalam lautan pesona yang mengagumkan.
Aku telah terjatuh dalam keelokannya dan yang ku tau hanyalah rela berkorban deminya.
wanita yang sangat sederhana dalam segala hal, dari ujung rambut sampai ujung kaki, dari bangun tidur hingga memejamkan matanya lagi ketika malam menjelang.
Seorang wanita yang periang dalam berteman, sehingga membuat setiap orang yang berada didekatnya merasa nyaman.
Seorang wanita yang supel dan selalu mengeluarkan senyuman manis. Bibirnya yang mungil, semakin membuat senyuman itu lebih sempurna.
Seorang wanita yang diberikan oleh tuhan sepasang bola mata hitam yang mengudang bulan untuk berbisik-bisikan, serta menawan…
Saat ku bertemu dengannya, tak bisa dipungkiri lagi bahwa ada perasaan ingin selalu bersama, mungkin masih banyak kekurangan yang kumiliki tapi aku yakin dia bisa menerimaku apa adanya, dan akupun kan selalu berusaha untuk menjadi seperti apa yang dia minta.
Aku pernah bersumpah di hadapan Allah disaksikan dedaunan ditiup angin yang semilir, bersahutan dengan deburan ombak serta suara air mengalir.
Andai suatu saat nanti kami akhirnya bersatu dalam ikatan yang suci, ku kan selalu ada untuknya dan selalu berusaha menjadi yang terbaik. Itulah JANJIKU….. Dan sekaranglah waktunya aku menepati janji itu.
Dengan Nama Allah, kupinang kau wahai wanitaku untuk menjadi istri yang akan mendampingiku untuk mendapatkan ridho Allah menuju ke kehidupan yang abadi...


"Perempuan datang atas nama cinta
Ku menyambutnya atas nama cinta
Seperti bulan yang telah tidur dalam hatinya
Berdinding kelam dan kedinginan
Menghampiri hati yang sedang dalam keraguan….!!!" (Rangga)

"Kata-kata lembut yang kita bisikkan pada pasangan kita
Tersimpan rapi disuatu tempat rahasia disyurga
Pada suatu hari mereka akan berjatuhan bagaikan hujan, lalu tersebar"

“Sebuah proses
 perjalanan hidup menuju kedewasaan
yang belajar mencinai hidup
 seperti apa adanya
bukan sebagaimana yang kita kehendaki”
“Kesalahan akan berhenti
menjadi kesalahan
apabila kita menggunakannya
untuk mengubah diri kita menjadi lebih baik…”
Salam hangat
 Penulis

Rabu, 19 Februari 2014

Inspirasi



Inspirasi
Sebagai pencari berita atau wartawan, setiap harinya aku harus mengelilingi sudut demi sudut daerah dimana aku ditugaskan sekarang, yakni Kabupaten Balangan yang bergelar Bumi Sanggam. Kerena baru saja dimekarkan pada awal tahun milenium lalu, membuat daerah ini lumayan sepi dari aktivitas lantaran belum terlalu banyak pembangunan yang dilakukan.
Seperti hari-hari biasa, tidak ada hal baru yang kulakukan pada hari ini, selain menemukan berbagai kasus dan melihat berbagai penderitaan masyarakat korban dari kebijakan - kebijakan yang dibuat pemangku kepentingan. Terlepas dari itu, aktivitasku hanya mengulang kegiatan yang sama dari hari sebelumnya, mencari berita, mengirimnya melalui email kepada redaktur dengan deadline pukul 16.00 Wita. Setelah itu, waktuku nyaris ku habiskan untuk hal-hal yang tidak bermanfaat, diluar dari shalat, membaca Alquran, buku sembari sesekali menghubungi pujaan hati via telepon atau SMS.
Usai mengirim berita ke redaktur di warung internet, seperti biasa aku browsing sebentar menelusuri dunia maya untuk sekedar mencari artikel-artikel bagus untuk dibaca di kamar berukuran 2 x 2, my kost sweet kost. Tidak seperti biasanya, hampir satu jam lebih berada di depan layar komputer, aku tidak menemukan sesuatu yang menarik yang bisa membuatku lebih rileks, mungkin karena sedang jenuh atau lelah.
Bosan browsing di google, aku kemudian membuka halaman baru pada tampilan layar persegi empat yang ada di depanku. Tanpa diperintah, jari-jemariku dengan lincah mengetik satu kata "facebook". Yah, tidak ada salahnya membuka akun jejaring sosial yang sudah lama tidak kubuka tersebut.
Lama tidak membuka jejaring ini, banyak hal baru bersifat lama yang kutemui, seperti tampang kawan-kawanku sewaktu kuliah di Universitas Islam Kalimantan (Uniska) yang dengan narsis meng-upload fotonya, serta hal gokil lainnya yang membuat aku merasa lebih rileks, senang hingga senyum-senyum sendiri.
Bahkan, rasa haru seketika muncul dalam dadaku  dan membuatku terpaku seakan terbang ke alam masa lalu saat melihat beberapa foto yang di-upload teman-temanku itu, foto disaat kami melakukan kegiatan sosial bersama-sama di salah satu organisasi di kampus, foto saat kami turun ke jalan dan seperti berada di garda terdepan untuk memperjuangkan nasib r akyat pinggiran yang tidak merasakan keadilan.
Mouse terus ku gerakkan ke arah bawah, hingga kutemui sebuah tautan dari temanku sewaktu bersekolah di pondok Darul Hijrah Putra Martapura dulu yang dia kirimkan ke dinding akun facebook-ku, tautan yang berjudul Derap Langkah Anak Rimba, sebuah kutipan singkat yang memaparkan dua orang anak desa yang sangat akrab.
Tautan tersebut dikirimkan oleh sahabatku Ahmad Jayadi. Lantaran tempat tinggalnya yang berada di pelosok kampung, tepatnya sebuah kampung yang berlokasi di sudut utara provinsi Kalimantan Selatan, kami pun sering memanggilnya dengan sebutan Al Qarawy yang artinya orang kampung. Kendati tinggal di pelosok, berkat kegigihan dan ketulusannya dalam menuntut ilmu, sekarang dia sedang melanjutkan pendidikan S1-nya di Negeri padang pasir yang selalu ku impikan bisa kesana, yaitu negeri Saba’ Yaman yang ceritanya telah di abadikan oleh Allah ‘Azzawajalla dalam Alqur’an dan menjadi salah satu nama surah, negeri dimana ratu Balqis pada ratusan abad yang lalu melebarkan sayap kekuasaannya.
Entah mengapa setelah membaca tautan yang dikirimkan oleh sahabatku itu hatiku semakin bergetar, seakan ada sesuatu yang aneh mengalir menelusuri aliran darahku, aku merasa berhutang budi pada masa laluku yang selama ini seakan sudah kulipat, kugulung dan buang, sehingga tak pernah terpikir olehku untuk membuka kembali masa-masa itu. Akupun menghujat diriku sendiri yang telah beranggapan bahwa masa lalu hanyalah sebuah kisah yang tak berarti lagi untuk dikenang di masa kini dan di masa maupun masa yang akan datang. Sekarang aku sadar bahwa sejatinya masa-masa itulah yang harus kutengok dan pelajari kembali, sekadar sebagai ajang evaluasi diri dan pembelajaran agar hidup ini bisa belajar dari sebuah pengalaman, dan menjadi lebih baik pada masa depan.
The best teacher is experience
Terinspirasi dari tulisannya itu, aku kemudian kembali membuka halaman baru dari layar komputer dan mencoba mengisi blog-ku yang juga sudah lama tidak kuisi dengan tulisan-tulisan. Aku ingin menjadikan memori-memori masa lalu yang terlintas dipikiranku ini tercurah menjadi susunan kata-kata yang bisa kuabadikan dan cerita yang kelak akan dibaca oleh anak, cucu, buyutku dan bagi siapapun yang ingin membacanya agar menjadi pembelajaran, disamping juga sebuah kenangan hidup yang bisa aku buka dan nikmati setiap saat...
***

Jumat, 14 Februari 2014

Cerita Konyol di 14 Februari

Cerita Konyol 14 Februari.
14 Februari ya...? Wew, jadi ingat kejadian sembilan tahun yang lalu. Kejadian yang menurutku konyol dan sedikit menggelitik.
Ceritanya tu begini, waktu itu aku baru lulus SMA dan baru punya pacar, ku pertegas lagi dan baru punya pacar, atau pacar pertama gitu. He he he.
Hubungan kami bisa dikatakan long distance relationship (LDR), aku di Banjarmasin, sedangkan cewekku di sisi kota yang lain, yaitu Banjarbaru. Layaknya cewek-cewek yang lain, pada hari itu yang tepat tanggal 14 Februari 2006 (kalo ga salah) dia minta dikasih cokelat. Sebagai cowok yang sayang dan cinta sama ceweknya (cie ciee), akupun bela-belain pergi ke Banjarbaru yang berjarak sekitar 40 KM.
Masalahnya, waktu itu aku belum punya sepeda motor sendiri, kalau mau bepergian biasanya selalu minjam motor kakak atau teman yang kebetulan motornya tidak terpakai atau nganggur.
"Ka, minjam motor dong,"
"Mau kemana?," tanya kakaku Yadi.
"Ke Banjarbaru jenguk pacar yang lagi di rumah sakit," glek!!!.
"Waduh, bagaimana ya, kayanya tidak bisa Yud, soalnya hari ini kakak mau tidur seharian, malam tadi begadang," ujarnya lagi.
Hmmmh, memang kalau tidur pakai motor?
Ya pada intinya dia ga bisa minjamin motor.
Beruntung, pada saat aku sedang galau-galaunya, ada SMS teman masuk yang ngajakin pergi ke kampus barengan. Otomatis tawaran itu ku terima dengan senang hati.
Setelah temanku yang bernama Iwan tadi menjemputku, kamipun pergi ke kampus kemudian mengikuti proses transfer ilmu dari dosen yang tidak pernah bisa masuk ke dalam kepalaku, lantaran dosennya hanya ngomong dan sibuk sendiri dengan papan tulis yang ada di hadapannya seperti tidak ada mahasiswa di dalam lokal.
Waktu sudah menunjukkan pukul 16.00 Wita, tandanya perkuliahan sudah selesai. Aku yang sebelumnya berpikir Iwan bisa meminjamkan motor, ternyata ada keperluan mendadak yang mengharuskannya segera pulang ke rumahnya. Tinggallah aku sendirian terpenjara di kampus, jangankan pergi ke Banjarbaru, pulang ke rumah saja aku bingung. Sementara itu, waktu terus berjalan dan sudah menunjukkan pukul delapan malam.
Seperti malaikat yang datang kesiangan, dari jauh aku liat sesosok laki-laki memakai baju warna putih, ternyata oh ternyata dia adalah... Jeng jeng jeng... Amat, sepupuku yang datang ke kampus untuk menjemputku. He he he.
Aku pun bergegas memberitahu Amat mengenai niatku yang ingin pergi ke Banjarbaru, ember bersambut gayung Amat bersedia menemaniku. Mesin motor dihidupkan, gas diputar, kami meluncur menuju Kota Idaman Banjarbaru.
Malang tak bisa dihindari,baru setengah perjalanan ban sepeda motor kami bocor, untungnya masih ada tukang tambal ban yang membuka praktek di tepi jalan, padahal jarum jam sudah sampai pada angka sembilan. Karena takut kemalaman, ban dalam yang bocor kami ganti dengan yang baru sehingga tidak perlu menunggu lama seperti menambal ban yang bocor.
Perjalanan kembali kami lanjutkan. Memang hari yang sial, baru lima kilometer sepeda motor kami menggertak aspal, dia kembali harus terhenti karena rantainya putus, alamat cintaku yang juga akan putus. Hahay. Nasib, nasib...
Setelah melalui berbagai rintangan dalam memperbaiki rantai sepeda motor Honda Supra X, sembari berharap perjalanan kali ini lancar kami melanjutkan perjalanan. Alhamdulillah, tepat pukul 00.00 Wita kami sampai di depan rumah Ervika Septiana, pujaan hatiku kala itu. Hehehe.
Namun apa daya, puluhan kali telepon dan belasan kali Short Message Service ku tidak kunjung dibalas oleh Vika, panggilan akrabnya. Dengan sedikit rasa bersalah dan kecewa, tanpa pikir panjang coklat yang kubawa tadi kutaruh di dalam got depan rumahnya. Alamaaaak, tidak ada tempat lain lagi ya, niat ngasih ga sih...??#*$@.

Tanpa ku lanjutkan ceritanya kalian pasti sudah bisa mengira apa yang terjadi selanjutnya pada hubungan kami. Elo Gue End...