Selasa, 09 Juni 2015

Perjuangan Gadis Kecil Bercita-cita Besar Dari Meratus

Jalan Kaki Delapan Jam Sehari
Ini kisah Pi’ik. Remaja dari Pegunungan Meratus ini setiap hari menembus hutan, mendaki gunung, dan menyisiri tubir bukit, menempuh perjalanan panjang , hanya untuk menuju sekolah. Satu lagi, inspirasi dari seorang anak negeri.
Malam masih menyisakan gelap saat Pi’ik Laura, 14 tahun, terbangun. Setelah mengerjakan rutinitas hariannya, mencuci dan memasak untuk kedua orangtuanya, dia mulai bersiap-siap.  Perjalanan jauh  menanti di depannya: menuju sekolah.  Jarak yang ditempuh gadis dayak ini setiap hari tak kurang dari 8 jam berjalan kaki pulang pergi, menanjak dan menurun.
Biasanya, pada terang tanah pertama, Pi’ik segera mulai berjalan. Tas sekolah dikepit di bahu kiri. Tak ketinggalan jaket yang selalu dikancingkan untuk menolak hawa dingin hutan dini hari. Ketika itu, tubuh kecilnya hanya terlihat berupa bayangan dalam keremangan hutan. 
"Dalam bahasa Dayak, Pi'ik itu artinya kecil,” ucap gadis periang ini mengisahkan kehidupannya. Dia mengaku  itu adalah nama pemberian ayahnya karena sewaktu lahir  mempunyai ukuran tubuh yang kecil dibandingkan anak biasanya.  Ayahnya, Tanar (50) adalah seorang petani dan pekebun, tipikal khas orang-orang Dayak yang hidup harmonis bersama alam. Tanar  memilih tetap tinggal di hutan, meski beberapa penduduk lainnya kini banyak yang sudah tinggal di desa-desa dan kecamatan.
Pilihan ayahnya ini berkonsekuensi bagi cita-cita Pi’ik.  Dia yang tinggal jauh di hutan akhirnya tidak memiliki akses ke pendidikan. Sekolah begitu jauh. SMPN 3 Halong, sekolahnya saat ini misalnya, berjarak empat jam jalan kaki. Sungguh, jarak yang sangat jauh.  Jika dibandingkan dengan  anak-anak di perkotaan atau kecamatan, perjalanannya menuju sekolah bisa dikatakan seperti sebuah perjuangan.
Tapi Pi’ik tidak menyerah. Tak seperti namanya, gadis berkulit putih ini menyimpan tekad yang besar. Dia ingin menjadi anak  pertama di Dusun Kurihai yang bisa mengalahkan jarak demi pendidikan. Apakah Pi’ik siap?
Mulanya orangtuanya tidak begitu yakin. Ayahnya bahkan melarang Pi’ik sekolah lantaran mempertimbangkan nyaris mustahil mencapai sekolah dari tempat tinggal mereka. “Ayah tidak tega membiarkan saya sendirian turun naik gunung,” ucap Pi’ik mengenang awal-awal dia mengutarakan niatnya untuk bersekolah.
Selain itu, ada faktor lain. Perekonomian keluarganya begitu memprihatinkan. Menjadi seorang petani yang sangat bergantung pada cuaca, membuat kadang-kadang keluarganya tidak bisa makan dengan layak. Ada hari-hari saat keluarga terpencil itu hanya memakan buah-buahan hutan dan meminum air yang tak pernah berhenti mengalir dari lereng Meratus, karena hasil panen tidak mencukupi kebutuhan keluarga.
Faktor ekonomi ini pula lah yang membuat Tanar tidak menyekolahkan anak-anaknya. Empat saudara perempuan Pi’ik semuanya tidak menempuh pendidikan formal. Sedangkan dua kakak lelaki Pi’ik hanya berhasil mengenyam pendidikan hingga kelas III sekolah dasar. Selebihnya, mereka menyerah dan mulai bekerja mencari penghidupan sendiri.  
Beruntung, kakaknya mewariskan buku-buku sekolah mereka di rumah.  Dari “warisan” inilah, rasa keingintahuan Pi’ik akan dunia luar dan kecintaannya akan pendidikan mulai bangkit.
"Saya memahami cara menulis dan membaca dari melihat kakak belajar. Sejak itu minat saya  untuk sekolah semakin tinggi," ujarnya.
Diam-diam, Pi’ik merencanakan sesuatu. Dia mulai mengidam-idamkan duduk di bangku sekolah. Dia mempelajari semua buku kakaknya, membaca dan menulis dari buku-buku itu. Saat keinginannya untuk sekolah sudah memuncak,  dengan modal nekad dia mendaftar sendiri di SD Kecil Ampinang Desa Mamigang, tanpa sepengetahuan orang tuanya.
Sepulang dari mendaftar SD Kecil, barulah ia mengabari orangtuanya. Seketika ibunya  menangis. “ Tidak tahu harus memberi uang saku buat sekolah pakai apa?” ucap Tarik, ibunya saat itu seperti dikutip Pi’ik.  
"Saya bilang ke ibu tidak usah mikirin itu, bisa sekolah saja aku sudah senang," ucapnya riang. Karena iba, dengan berat hati, orangtua Pi’ik akhirnya bisa melepasnya untuk mengejar impian.   "Kadang kami khawatir terjadi apa-apa dengannya di jalan, tapi lambat laun kami sudah terbiasa," ujar Tanar.
SD Kecil Ampinang berlokasi tidak jauh dari SMPN 3 Halong tempat Pi'ik bersekolah sekarang, jaraknya hanya sekitar 500 meter lebih dekat dari SMPN 3 Halong. Setiap hari, Pi’ik menempuh rute yang sama. Itu termasuk 2,5 jam perjalanan turun gunung hingga tiba di Desa Ruwuk. Disini ia mampir di rumah seorang sepupunya. Tempat ia biasa menitipkan sepatu dan berganti pakaian seragam sekolah. "Ini sepatu pemberian teman baik, saya tidak mau rusak," tutur dara yang mengaku seragam sekolahnya adalah pemberian dari guru agama di sekolahnya.
Dari Desa Ruwuk, perjalanan ke sekolahnya masih sekitar 1,5 jam lagi. Melewati beberapa desa, yakni Ampinang, Mamigang baru sampai ke Desa Uren, tempat sekolahnya berada. Desa Uren sendiri terletak 2 jam perjalanan dengan kendaraan roda dua dari ibukota kabupaten, Paringin.
Namun, melewati jalur sisa ini kadang Pi’ik beruntung, ada pengendara motor yang lewat dan memberi tumpangan. Jika naik motor, waktu tempuh bisa dipangkas menjadi sekitar 15 menit. Artinya ia tidak terlambat sampai ke sekolah dan bisa mengikuti baris-berbaris seperti teman-temannya yang lain. Tetapi, seringnya Pi’ik terlambat sekitar 30 menit setelah menempuh perjalanan panjang dari rumahnya. “Biasanya para guru sudah memaklumi,” ucapnya ringan.
Bahkan, ketika masih SD, melihat kesungguhan anak-anak meratus seperti Pi’ik, dewan guru SD Kecil melonggarkan peraturan. Mereka tidak mewajibkan murid-muridnya supaya berseragam sekolah. Diakui Pi'ik ini merupakan kebahagiaan tersendiri, karena ia tak perlu memikirkan bagaimana membeli seragam. Ia baru memiliki seragam pada saat duduk di kelas dua SD.  
Rutinitas bersekolah yang tidak biasa ini  sudah berlalu enam tahun. Dan dari tahun ke tahun, bersekolah masih tidak mudah bagi Pi’ik. Dia hanya menjadi lebih terbiasa. Hawa dingin,  hamparan tanah becek, sesemakan tajam, kontur curam bukit,  adalah kendala yang harus  ditaklukan. Dan jangan lupa: babi hutan!
“Saya pernah dikejar babi hutan,” kenangnya lagi. Saat itu jalan licin karena hari hujan. Pi’ik terus berlari meski kakinya terluka dan berdarah. Ia kesakitan, tapi tak punya pilihan.
“Ya harus bangkit lagi, karena sekeras apapun menangis, tidak ada juga yang mengasihani dan bisa menolong. Akhirnya ke sekolah dengan kondisi basah dan seragam kotor,” ujarnya.
Pi’ik merasa sedikit banyak, dia dilindungi. “Satu hal yang tidak pernah saya lupa setiap sebelum berangkat sekolah, berdoa kepada Tuhan," ucap gadis yang bercita-cita menjadi guru ini. 

0 komentar:

Posting Komentar