Meminang

Sejarah penting dalam hidup manusia termasuk bagi seorang Yudhi Baslau.

Nice Moment

Sampai kapanpun masa-masa berkumpul bersama kawan-kawan akan selalu menjadi kenangan manis untuk diingat.

Ekspresi Diri

Seni sastra termasuk membaca puisi cara murah dan mudah untuk mengusir gundah dan galau.

Mun Lain Kita Siapa Pang Lagi

Saatnya Berbuat Bersama Melestarikan Seni Budaya Kalimantan.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Selasa, 02 September 2014

Sarjana, Antara Pemberi Harapan dan Beban

Sarjana, Antara Pemberi Harapan Dan Beban
Oleh Wahyudi

"Engkau sarjana muda, resah mencari kerja, mengandalkan ijazahmu.
Empat tahun lamanya bergelut dengan buku tuk jamin masa depan...
Engkau sarjana muda, Resah tak dapat kerja, tak berguna ijazahmu.
Empat tahun lamanya, bergelut dengan buku, sia-sia semuanya...
Setengah putus asa dia berucap, maaf Ibu"

Lirik lagu karya Iwan Fals yang dirilis pada tahun 1981 dalam album Sarjana Muda tersebut, menggambarkan bagaimana seseorang yang telah berusaha untuk memperoleh titel sarjana yang sangat diimpikannya selama bertahun-tahun. Namun, setelah lulus dia mendapat tantangan dan kesulitan dalam mencari kerja. Dalam lagunya itu, penyanyi legendaris Indonesia yang akrab disapa bang Iwan tersebut, juga mencoba menggambarkan bahwa ijazah seorang sarjana tidak bisa menjadi jaminan seseorang untuk mendapat kerja. Makna lagu yang dirilis sejak 32 tahun lalu atau tepatnya pada masa Orde Baru tersebut, masih terasa bahkan hingga sekarang.
Berdasarkan data yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik Nasional (BPSN), sejak Januari 2013 hingga Juli 2013, di Indonesia tercatat sekitar 500.000 lulusan dari sekitar 2.900 perguruan tinggi yang menjadi pengangguran. Sungguh tragis, dan tentu saja tidak ada seorang sarjana pun yang mau menjadi salah satunya.
Berangkat dari sana, tidak heran banyak sarjana takut - atau dalam bahasa gaulnya galau - tidak bisa mendapat kerja. Bermacam pikiran buruk menyeret ke arah rasa khawatir mengenai kerja apa nanti setelah lulus kuliah. Bahkan, perasaan itu sudah muncul ketika si calon penyandang gelar menginjak semester lima ke atas. Karena, pada masa-masa seperti itulah pikiran ingin hidup mandiri guna mengurangi beban orang tua mulai muncul dalam benak, terlebih bagi anak laki-laki. Akan tetapi, masih adanya rasa ingin menikmati masa muda, seakan mengalahkan segalanya.
Sejatinya, pada masa-masa itulah seorang mahasiswa/mahasiswi harus sudah mulai menyusun puzzle-puzzle masa depannya agar tidak berantakan. Mahasiswa yang sudah mulai memikirkan kerja sejak dini, pastinya sudah mempunyai bayangan atau gambaran dimana masa depannya setelah kuliah bakal berlabuh.
Ada bermacam pandangan dari berbagai kalangan mengenai banyaknya angka pengangguran berpendidikan di negeri tercinta ini. Salah satu sumber mengungkapkan, keliru dan gegabah dalam mengambil jurusan sewaktu pertama mendaftar kuliah, menjadi salah satu faktor utama penyebab seorang mahasiswa akan galau saat memasang toga. Kekeliruan tersebut akan berdampak negatif pada proses pencapaian akademik di kampus.
Rasa kurang semangat dan bermalas-malasan dalam mengikuti proses pembelajaran di kampus tidak dipungkiri pasti akan muncul dalam diri, yang kemudian berdampak pada rasa tidak terlalu peduli dengan nilai dan ilmu yang didapatkan, hal itu berujung pada tidak menguasainya si mahasiswa dengan jurusan yang dia ambil.
Selain itu, yang paling banyak didapati dan menjadi alasan bagi seorang sarjana tidak mendapat pekerjaan, juga disinyalir lantaran terlalu memilih-milih pekerjaan dengan harapan mendapat gaji besar. Masyarakat yang tengah berkembang, memang menempatkan tujuan akhir dari program pendidikan pada teraihnya lapangan kerja yang diharapkan. Atau setidak-tidaknya, setelah lulus dapat bekerja di sektor formal yang memiliki nilai "gengsi" lebih tinggi di banding sektor informal. Padahal dewasa ini lapangan kerja di sektor formal mengalami penurunan, seiring dengan semakin melemahnya kinerja sektor industri dan produksi manufaktur yang berorientasi ekspor di negara ini. Melemahnya sektor tersebut secara langsung menyebabkan berkurangnya permintaan untuk tenaga kerja terdidik. Dengan kata lain, adanya informalisasi pasar kerja menjadi salah satu indikator utama penyebab menumpuknya pengangguran berpangkat sarjana di Indonesia. Sebenarnya, banyak sektor informal yang masih membutuhkan tenaga kerja, seperti sektor pertanian, kelautan, perkebunan, dan perikanan. Namun rata-rata sang sarjana tak mau bekerja di tempat-tempat seperti itu dan mereka umumnya juga tidak mau memulai karir dari bawah.
Paradigma seperti itu, menjadi penghalang utama bagi sarjana dalam melepas status penganggurannya setelah lulus kuliah, apalagi bagi lulusan S1 yang belum mempunyai pengalaman kerja dan hanya bermodalkan gelar disertai secarik kertas.
Clignet (1980), dalam hasil studinya juga memaparkan gejala meningkatnya pengangguran terdidik di Indonesia, diantaranya yakni adanya keinginan memilih pekerjaan yang aman dari resiko, seperti pekerjaan yang nyaman namun menghasilkan gaji besar. Dengan kata lain, golongan sarjana yang mempunyai prinsip seperti itu, lebih suka memilih menganggur daripada mendapat pekerjaan yang tidak sesuai dengan keinginan mereka.
Ada juga beberapa pendapat yang mengatakan, menumpuknya pengangguran berpendidikan tidak terlepas dari kualitas intelektual seorang sarjana. Artinya, kebanyakan titel sarjana hanya sebagai gelar semata, tidak diiringi dengan kualitas yang mumpuni baik itu dari segi mental, kemampuan dan kreatifitas. Dan sudah menjadi rahasia umum, bahwa faktor kualitas intelektual menjadi pertimbangan utama bagi perusahaan-perusahaan besar dalam menerima tenaga kerja.
Jadi, janganlah terlalu memilih-milih pekerjaan, tidak ada salahnya memulai suatu pekerjaan yang sesuai kemampuan walaupun dengan gaji kecil, sekedar untuk mencari pengalaman sembari mulai meniti karir dari bawah.
Pengangguran terdidik juga sangat berkaitan dengan masalah kependidikan yang berkisar pada masalah mutu pendidikan. Seorang sarjana, harusnya dibekali dengan keterampilan di luar kompetensi utama mereka sebagai sarjana. Karena, untuk menjadi seorang lulusan yang siap kerja, sarjana perlu tambahan keterampilan di luar bidang akademik yang mereka kuasai.
Sejatinya, perguruan tinggi adalah wadah yang mampu mencetak sumber daya manusia unggul dengan pengetahuan dan wawasan luas, sehingga menjadi pemberi harapan bagi masyarakat. Ironinya, fakta di lapangan sekarang berkata lain. Begitu seorang mahasiswa menyandang gelar sarjana, mereka disibukkan dengan aktifitas mencari kerja ke berbagai perusahaan. Singkatnya, lembaga pendidikan di Indonesia hanya menghasilkan pencari kerja, bukan pencipta kerja. Miris sekali.
Sementara itu, Sofyan Effendie, Anggota Dewan Pendidikan Tinggi (DPT) dalam salah satu kesempatan - seperti yang diberitakan oleh Detik.com – mengkritisi, tidak berkembangnya pendidikan tinggi di Indonesia saat ini, karena selama ini mereka meluluskan sarjana yang tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Menurutnya, sekarang ini ada kecenderungan ketidaksesuaian tenaga-tenaga yang diperlukan oleh masyarakat. Disaat masyarakat lebih membutuhkan mahasiswa yang menjadi teknisi, perguruan tinggi lebih banyak mengeluarkan sarjana yang berlatar akademisi. "Masyarakat kita itu sebenarnya lebih banyak membutuhkan teknisi daripada akademisi. Akibatnya apa? Banyak sarjana pengangguran yang dihasilkan dari perguruan tinggi di negeri ini. Masyarakat lebih butuh teknisi, tapi perguruan tinggi lebih banyak menghasilkan akademisi," sesalnya.
Mantan rektor UGM ini juga memaparkan, lulusan perguruan tinggi berlatar akademik di Indonesia saat ini mencapai angka 82.5 persen, sebaliknya yang berlatar vokasi hanya berkisar 17,5 persen. Padahal kata dia, kebutuhan yang dibutuhkan oleh masyarakat saat ini adalah 75 persen, yang mana itu adalah tenaga teknisi.
Hingga saat ini, ada jutaan sarjana di negeri ini. Jumlah itu tentunya akan semakin bertambah dan terus bertambah seiring meningkatnya populasi penduduk serta kemajuan ilmu dan teknologi. Di satu sisi, ini merupakan kabar gembira karena masyarakat Indonesia sudah mulai sadar akan pentingnya pendidikan, namun minimnya lapangan pekerjaan menjadikannya sebagai kabar buruk di sisi yang lain. Karena jumlah pengangguran akan kembali bertambah.
Lantas apa solusi mengurangi angka pengangguran berpendidikan? Sembilan dari sepuluh orang berpendapat, hanya ada satu cara untuk menghindarinya, yakni menciptakan lapangan kerja. Lapangan kerja hanya bisa diciptakan oleh orang yang bermental pengusaha bukan pekerja. Dan SDM yang sangat berpeluang untuk membuka lapangan kerja yakni sarjana. Tentunya dengan segala pengetahuan dan wawasan yang dimilikinya.
Kemandirian selama kuliah dengan sambil bekerja walaupun hanya sebagai buruh terlebih berwirausaha kecil-kecilan sesuai jurusan yang diambil, tentunya memberi pengaruh tersendiri bagi si sarjana setelah dia lulus kuliah. Pengalaman yang didapat dalam bekerja ketika masih kuliah, menjadi nilai tambah baginya agar terus bisa bertahan hidup di tengah kerasnya dunia.
Di setiap perguruan tinggi manapun, bahkan yang dianggap bonafit sekalipun, pasti banyak ditemui mahasiswa yang kuliah sambil berbisnis. Ada yang sambil mengajar di sekolah, di bimbingan belajar, membuka les privat, bekerja di restoran dan cafe, jualan bakso bahkan jadi tukang becak. Mereka bekerja dengan motivasi berbeda-beda. Demi menutupi biaya kuliah, meringankan beban orang tuanya yang kurang mampu dan ada yang memang keinginan sendiri untuk mandiri.
Jika kita merujuk pada profil pebisnis kelas dunia yang membuka usaha sendiri sembari kuliah, seperti Bill Gates si raja Microsoft yang memulai bisnis dari garasi rumahnya dan sempat dikeluarkan dari bangku perkuliahan, tentunya merupakan pilihan yang sama sekali tidak salah untuk berwirausaha sambil kuliah. Nasib seseorang tidak akan berubah kalau orng itu sendiri tidak berusaha untuk merubahnya.
Harus kita akui, kaum wirausaha menentukan nasib banyak orang, karena merekalah pencipta lapangan kerja. Sementara itu, dari sekitar 240 juta jiwa penduduk Indonesia, kaum wirausaha hanya berjumlah sekitar 0,24 persen atau sekitar 500.000 orang, tidak sebanding dengan banyaknya jumlah penduduk. Dibandingkan dengan negara tetangga, jumlah kaum wirausaha di Indonesia belum seberapa, jumlah kaum wirausaha Singapura mencapai 7 persen dari jumlah penduduknya, Malaysia 5 persen dan Amerika yang negara maju mencapai 11 persen (Kompas.com).
Dari laporan Asian Development Bank (ADB) yang dirilis pada tahun 2010 silam, dari 240 juta penduduk Indonesia, jumlah orang miskinnya menyentuh angka 43,1 juta jiwa.
Sudah saatnya bagi kaum intelektual berpangkat sarjana untuk berdiri di garda terdepan guna menyelesaikan permasalahan bangsa berupa pengangguran. Aksi kepahlawanan di jalanan seperti demonstrasi menyuarakan aspirasi rakyat di saat menjadi mahasiswa, digantikan dengan aksi nyata menjadi wirausaha, ikut menyejahterakan rakyat di saat lulus dan bergelar sarjana. Bukannya ikut membebani masyarakat dengan status pencari kerja. (*)