Sarjana, Antara Pemberi Harapan Dan Beban
Oleh Wahyudi
"Engkau sarjana muda, resah mencari kerja, mengandalkan ijazahmu.
Empat tahun lamanya bergelut dengan buku tuk jamin masa depan...
Engkau sarjana muda, Resah tak dapat kerja, tak berguna ijazahmu.
Empat tahun lamanya, bergelut dengan buku, sia-sia semuanya...
Setengah putus asa dia berucap, maaf Ibu"
Lirik
lagu karya Iwan Fals yang dirilis pada tahun 1981 dalam album Sarjana
Muda tersebut, menggambarkan bagaimana seseorang yang telah berusaha
untuk memperoleh titel sarjana yang sangat diimpikannya selama
bertahun-tahun. Namun, setelah lulus dia mendapat tantangan dan
kesulitan dalam mencari kerja. Dalam lagunya itu, penyanyi legendaris
Indonesia yang akrab disapa bang Iwan tersebut, juga mencoba
menggambarkan bahwa ijazah seorang sarjana tidak bisa menjadi jaminan
seseorang untuk mendapat kerja. Makna lagu yang dirilis sejak 32 tahun
lalu atau tepatnya pada masa Orde Baru tersebut, masih terasa bahkan
hingga sekarang.
Berdasarkan data yang dirilis oleh Badan Pusat
Statistik Nasional (BPSN), sejak Januari 2013 hingga Juli 2013, di
Indonesia tercatat sekitar 500.000 lulusan dari sekitar 2.900 perguruan
tinggi yang menjadi pengangguran. Sungguh tragis, dan tentu saja tidak
ada seorang sarjana pun yang mau menjadi salah satunya.
Berangkat
dari sana, tidak heran banyak sarjana takut - atau dalam bahasa gaulnya
galau - tidak bisa mendapat kerja. Bermacam pikiran buruk menyeret ke
arah rasa khawatir mengenai kerja apa nanti setelah lulus kuliah.
Bahkan, perasaan itu sudah muncul ketika si calon penyandang gelar
menginjak semester lima ke atas. Karena, pada masa-masa seperti itulah
pikiran ingin hidup mandiri guna mengurangi beban orang tua mulai muncul
dalam benak, terlebih bagi anak laki-laki. Akan tetapi, masih adanya
rasa ingin menikmati masa muda, seakan mengalahkan segalanya.
Sejatinya,
pada masa-masa itulah seorang mahasiswa/mahasiswi harus sudah mulai
menyusun puzzle-puzzle masa depannya agar tidak berantakan. Mahasiswa
yang sudah mulai memikirkan kerja sejak dini, pastinya sudah mempunyai
bayangan atau gambaran dimana masa depannya setelah kuliah bakal
berlabuh.
Ada bermacam pandangan dari berbagai kalangan mengenai
banyaknya angka pengangguran berpendidikan di negeri tercinta ini. Salah
satu sumber mengungkapkan, keliru dan gegabah dalam mengambil jurusan
sewaktu pertama mendaftar kuliah, menjadi salah satu faktor utama
penyebab seorang mahasiswa akan galau saat memasang toga. Kekeliruan
tersebut akan berdampak negatif pada proses pencapaian akademik di
kampus.
Rasa kurang semangat dan bermalas-malasan dalam mengikuti
proses pembelajaran di kampus tidak dipungkiri pasti akan muncul dalam
diri, yang kemudian berdampak pada rasa tidak terlalu peduli dengan
nilai dan ilmu yang didapatkan, hal itu berujung pada tidak menguasainya
si mahasiswa dengan jurusan yang dia ambil.
Selain itu, yang paling
banyak didapati dan menjadi alasan bagi seorang sarjana tidak mendapat
pekerjaan, juga disinyalir lantaran terlalu memilih-milih pekerjaan
dengan harapan mendapat gaji besar. Masyarakat yang tengah berkembang,
memang menempatkan tujuan akhir dari program pendidikan pada teraihnya
lapangan kerja yang diharapkan. Atau setidak-tidaknya, setelah lulus
dapat bekerja di sektor formal yang memiliki nilai "gengsi" lebih tinggi
di banding sektor informal. Padahal dewasa ini lapangan kerja di sektor
formal mengalami penurunan, seiring dengan semakin melemahnya kinerja
sektor industri dan produksi manufaktur yang berorientasi ekspor di
negara ini. Melemahnya sektor tersebut secara langsung menyebabkan
berkurangnya permintaan untuk tenaga kerja terdidik. Dengan kata lain,
adanya informalisasi pasar kerja menjadi salah satu indikator utama
penyebab menumpuknya pengangguran berpangkat sarjana di Indonesia.
Sebenarnya, banyak sektor informal yang masih membutuhkan tenaga kerja,
seperti sektor pertanian, kelautan, perkebunan, dan perikanan. Namun
rata-rata sang sarjana tak mau bekerja di tempat-tempat seperti itu dan
mereka umumnya juga tidak mau memulai karir dari bawah.
Paradigma
seperti itu, menjadi penghalang utama bagi sarjana dalam melepas status
penganggurannya setelah lulus kuliah, apalagi bagi lulusan S1 yang belum
mempunyai pengalaman kerja dan hanya bermodalkan gelar disertai secarik
kertas.
Clignet (1980), dalam hasil studinya juga memaparkan gejala
meningkatnya pengangguran terdidik di Indonesia, diantaranya yakni
adanya keinginan memilih pekerjaan yang aman dari resiko, seperti
pekerjaan yang nyaman namun menghasilkan gaji besar. Dengan kata lain,
golongan sarjana yang mempunyai prinsip seperti itu, lebih suka memilih
menganggur daripada mendapat pekerjaan yang tidak sesuai dengan
keinginan mereka.
Ada juga beberapa pendapat yang mengatakan,
menumpuknya pengangguran berpendidikan tidak terlepas dari kualitas
intelektual seorang sarjana. Artinya, kebanyakan titel sarjana hanya
sebagai gelar semata, tidak diiringi dengan kualitas yang mumpuni baik
itu dari segi mental, kemampuan dan kreatifitas. Dan sudah menjadi
rahasia umum, bahwa faktor kualitas intelektual menjadi pertimbangan
utama bagi perusahaan-perusahaan besar dalam menerima tenaga kerja.
Jadi,
janganlah terlalu memilih-milih pekerjaan, tidak ada salahnya memulai
suatu pekerjaan yang sesuai kemampuan walaupun dengan gaji kecil,
sekedar untuk mencari pengalaman sembari mulai meniti karir dari bawah.
Pengangguran
terdidik juga sangat berkaitan dengan masalah kependidikan yang
berkisar pada masalah mutu pendidikan. Seorang sarjana, harusnya
dibekali dengan keterampilan di luar kompetensi utama mereka sebagai
sarjana. Karena, untuk menjadi seorang lulusan yang siap kerja, sarjana
perlu tambahan keterampilan di luar bidang akademik yang mereka kuasai.
Sejatinya,
perguruan tinggi adalah wadah yang mampu mencetak sumber daya manusia
unggul dengan pengetahuan dan wawasan luas, sehingga menjadi pemberi
harapan bagi masyarakat. Ironinya, fakta di lapangan sekarang berkata
lain. Begitu seorang mahasiswa menyandang gelar sarjana, mereka
disibukkan dengan aktifitas mencari kerja ke berbagai perusahaan.
Singkatnya, lembaga pendidikan di Indonesia hanya menghasilkan pencari
kerja, bukan pencipta kerja. Miris sekali.
Sementara itu, Sofyan
Effendie, Anggota Dewan Pendidikan Tinggi (DPT) dalam salah satu
kesempatan - seperti yang diberitakan oleh Detik.com – mengkritisi,
tidak berkembangnya pendidikan tinggi di Indonesia saat ini, karena
selama ini mereka meluluskan sarjana yang tidak sesuai dengan kebutuhan
masyarakat.
Menurutnya, sekarang ini ada kecenderungan
ketidaksesuaian tenaga-tenaga yang diperlukan oleh masyarakat. Disaat
masyarakat lebih membutuhkan mahasiswa yang menjadi teknisi, perguruan
tinggi lebih banyak mengeluarkan sarjana yang berlatar akademisi.
"Masyarakat kita itu sebenarnya lebih banyak membutuhkan teknisi
daripada akademisi. Akibatnya apa? Banyak sarjana pengangguran yang
dihasilkan dari perguruan tinggi di negeri ini. Masyarakat lebih butuh
teknisi, tapi perguruan tinggi lebih banyak menghasilkan akademisi,"
sesalnya.
Mantan rektor UGM ini juga memaparkan, lulusan perguruan
tinggi berlatar akademik di Indonesia saat ini mencapai angka 82.5
persen, sebaliknya yang berlatar vokasi hanya berkisar 17,5 persen.
Padahal kata dia, kebutuhan yang dibutuhkan oleh masyarakat saat ini
adalah 75 persen, yang mana itu adalah tenaga teknisi.
Hingga saat
ini, ada jutaan sarjana di negeri ini. Jumlah itu tentunya akan semakin
bertambah dan terus bertambah seiring meningkatnya populasi penduduk
serta kemajuan ilmu dan teknologi. Di satu sisi, ini merupakan kabar
gembira karena masyarakat Indonesia sudah mulai sadar akan pentingnya
pendidikan, namun minimnya lapangan pekerjaan menjadikannya sebagai
kabar buruk di sisi yang lain. Karena jumlah pengangguran akan kembali
bertambah.
Lantas apa solusi mengurangi angka pengangguran
berpendidikan? Sembilan dari sepuluh orang berpendapat, hanya ada satu
cara untuk menghindarinya, yakni menciptakan lapangan kerja. Lapangan
kerja hanya bisa diciptakan oleh orang yang bermental pengusaha bukan
pekerja. Dan SDM yang sangat berpeluang untuk membuka lapangan kerja
yakni sarjana. Tentunya dengan segala pengetahuan dan wawasan yang
dimilikinya.
Kemandirian selama kuliah dengan sambil bekerja walaupun
hanya sebagai buruh terlebih berwirausaha kecil-kecilan sesuai jurusan
yang diambil, tentunya memberi pengaruh tersendiri bagi si sarjana
setelah dia lulus kuliah. Pengalaman yang didapat dalam bekerja ketika
masih kuliah, menjadi nilai tambah baginya agar terus bisa bertahan
hidup di tengah kerasnya dunia.
Di setiap perguruan tinggi manapun,
bahkan yang dianggap bonafit sekalipun, pasti banyak ditemui mahasiswa
yang kuliah sambil berbisnis. Ada yang sambil mengajar di sekolah, di
bimbingan belajar, membuka les privat, bekerja di restoran dan cafe,
jualan bakso bahkan jadi tukang becak. Mereka bekerja dengan motivasi
berbeda-beda. Demi menutupi biaya kuliah, meringankan beban orang tuanya
yang kurang mampu dan ada yang memang keinginan sendiri untuk mandiri.
Jika
kita merujuk pada profil pebisnis kelas dunia yang membuka usaha
sendiri sembari kuliah, seperti Bill Gates si raja Microsoft yang
memulai bisnis dari garasi rumahnya dan sempat dikeluarkan dari bangku
perkuliahan, tentunya merupakan pilihan yang sama sekali tidak salah
untuk berwirausaha sambil kuliah. Nasib seseorang tidak akan berubah
kalau orng itu sendiri tidak berusaha untuk merubahnya.
Harus kita
akui, kaum wirausaha menentukan nasib banyak orang, karena merekalah
pencipta lapangan kerja. Sementara itu, dari sekitar 240 juta jiwa
penduduk Indonesia, kaum wirausaha hanya berjumlah sekitar 0,24 persen
atau sekitar 500.000 orang, tidak sebanding dengan banyaknya jumlah
penduduk. Dibandingkan dengan negara tetangga, jumlah kaum wirausaha di
Indonesia belum seberapa, jumlah kaum wirausaha Singapura mencapai 7
persen dari jumlah penduduknya, Malaysia 5 persen dan Amerika yang
negara maju mencapai 11 persen (Kompas.com).
Dari laporan Asian
Development Bank (ADB) yang dirilis pada tahun 2010 silam, dari 240 juta
penduduk Indonesia, jumlah orang miskinnya menyentuh angka 43,1 juta
jiwa.
Sudah saatnya bagi kaum intelektual berpangkat sarjana untuk
berdiri di garda terdepan guna menyelesaikan permasalahan bangsa berupa
pengangguran. Aksi kepahlawanan di jalanan seperti demonstrasi
menyuarakan aspirasi rakyat di saat menjadi mahasiswa, digantikan dengan
aksi nyata menjadi wirausaha, ikut menyejahterakan rakyat di saat lulus
dan bergelar sarjana. Bukannya ikut membebani masyarakat dengan status
pencari kerja. (*)
Selasa, 02 September 2014
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar