Kamis, 27 April 2017

Menengok Aktivitas Anak-anak di Pinggiran Kota yang Tumbuh Tanpa Handphone

Tinggal di daerah yang notabene masih di pinggiran perkotaan namun serasa di pedalaman, itulah kondisi yang dialami oleh warga Murung Binjai, anak desa Kusambi Hulu, Kecamatan Lampihong
-------------------------------------
MESKI terhitung bermukim di kawasan yang hanya berjarak beberapa menit dari jantung ibukota kabupaten, Paringin Kota, namun tidak menjamin warga bisa mendapatkan fasilitas umum yang layak dari pemerintah.
Tanpa listrik, PDAM dan Jalan rusak, seakan membuat kondisi  warga di Murung Binjai yang dihuni oleh 32 KK dengan sekitar 150 an jiwa ini seakan menjadi terpinggirkan dan terlupakan.
Hal ini terus dibiarkan dari tahun ke tahun hingga sekarang, tanpa ada tindakan dengan alasan skala prioritas. Inilah bukti jika pemerataan itu amat sulit diwujudkan, meski keadilan dan perubahan terus digaungkan.
Belum lama tadi, penulis menyempatkan diri untuk menengok aktivitas warga di sana. Waktu yang ditempuh untuk bisa mencapai Desa Kusambi Hulu dari Ibukota Balangan, Paringin, tak lebih dari setengah jam perjalanan.
Sampai di Desa Kusambi Hulu, di sebelah kanan jalan dari Paringin terpampang arah jalan menunjuk ke kanan bertulis Murung Binjai di muara gerbang.
Jarak dari muara hingga mencapai ke pemukiman warga RT 04 yang terisolir itu terhitung dekat, yaitu sekitar enam kilometer.
Namun, kondisi sepanjang jalan yang rusak parah membuat perjalanan yang harusnya bisa ditempuh sekitar sepuluh menit menjadi hampir dua kali lipat.
Siswa-siswi SDN Kusambi Hulu 2 berlarian keluar dari kelas sepulang sekolah, bertepatan saat penulis datang sekitar pukul 11.00 Wita.
Sekolah ini terdiri dari empat ruangan, satu digunakan untuk ruang dewan guru, tiga sisanya untuk kegiatan belajar mengajar. Mengantisipasi jumlah enam kelas, setiap ruangan dibagi dua dengan sekat triplek.
Sementara di sisi lain, para bapak melakukan transaksi karet dengan pengepul yang datang untuk memborong karet hasil sadapan warga, sebagai mata pencaharian utama menunjang ekonomi keluarga.
Di teras salah satu rumah, ibu-ibu tengah asyik mengobrol sembari tawar-menawar dengan penjual baju keliling yang mengkreditkan barang dagangannya.
Di anak desa ini hanya ada satu sekolah yakni SDN Kusambi Hulu 2, tidak adanya sekolah lanjutan di sana dan kondisi jalan yang rusak parah, membuat sebagian anak harus putus sekolah usai lulus SD.
Yani, salah seorang warga sekitar mengungkapkan, dua orang anaknya terpaksa tidak melanjutkan sekolah selepas menjadi alumni SDN Kusambi Hulu 2.
Alasannya, jalanan yang rusak sehingga membuatnya tidak mempercayakan anaknya untuk pergi sekolah ke luar desa, sementara ia sendiri tidak bisa mengantar karena mencari nafkah untuk kehidupan sehari-hari sejak pagi buta.
"Ya terpaksa putus sekolah, kalau saya yang antar jemput terus siapa yang cari nafkah untuk kehidupan sehari-hari kami di rumah?," ungkapnya.
Tidak sekolah dan tidak adanya aktivitas lain di desa, maka membantu orang tua bekerja pergi ke kebun untuk menyadap karet sebagai mata pencaharian utama warga setempat, menjadi satu-satunya pilihan yang harus diambil oleh anak-anak.
Ketua RT 04 Murung Binjai Jailani menuturkan, dulu Murung Binjai dihuni banyak penduduk, namun lantaran tuntutan zaman dan salah satunya untuk kepentingan pendidikan anak, maka warga memilih untuk pindah ke desa lain.
"Bagi mereka yang punya harta berlebih bisa membangun rumah di desa lain, dan ke sini hanya untuk berkebun. Sementara bagi yang pas-pasan tidak ada pilihan selain bertahan," tukasnya.
Untuk penerangan di rumah kala malam tiba kata dia, warga sebagian ada yang menggunakan genset, namun ada juga yang hanya memanfaatkan lampu tembok serta lilin.
Sementara untuk penerangan di jalanan desa, belum lama tadi ada bantuan beberapa colar cell dari perusahaan pertambangan yang beroperasi di Balangan.
"Kalau air bersih dulu sempat ada program Pamsimas masuk sini, tapi hanya lancar selama setahun," tukasnya.
Sehingga sekarang untuk mendapatkan air bersih warga mengandalkan sumur gali. Namun kalau musim kemarau tiba, maka mereka harus keluar desa untuk bisa mendapatkan air bersih.
Namun dari segala penderitaan itu, setidaknya warga tidak perlu khawatir anak-anaknya yang masih belia terpengaruh dari sisi negatif kemajuan tekhnologi elektronik.
Sepulang sekolah, anak-anak berkeliaran di segala penjuru desa, tidak ada handphone yang membuat mereka menjadi generasi nunduk, tidak ada televisi yang mendoktrin mereka tentang percintaan sejak dini.
Satu hal yang tak kalah penting, silaturahmi warga terjaga dengan baik, karena hanya ada satu tempat yang menjadi hiburan di saat senggang, yakni nongkrong sembari menyeruput secangkir kopi di warung. (yud)

0 komentar:

Posting Komentar